Januari, 2001.
Sipir itu mendorongku dengan keras ke dalam sel. Borgol itu telah dilepas dari tanganku. Para tahanan wanita lain memelototiku dengan mata tajam. Aku menatapnya balik dengan ekspresi datar. Ku sembunyikan segala kebengisan yang telah kuperbuat di dalam wajah ayu dan tatap mataku yang sendu. Tak ada yang berani mengajakku berbicara. Mungkin mereka telah mengetahui bahwa aku telah membunuh seorang lelaki tua. Ya, itulah sebabnya aku berakhir sampai di tempat ini..
•
Juli, 2000.
Namaku Siti Nurbaya. Panggil saja aku Aya. Orang-orang kadang juga memanggilku Siti, ataupun Nur. Tapi aku lebih suka jika dipanggil Aya, seperti mas Bahri dulu biasa memanggilku. Kata orang-orang desaku hidupku terlampau beruntung. Punya paras elok, raut muka ayu dan diperistri oleh saudagar kayaraya. Karna sangat langka sekali gadis-gadis di desa ini bisa mempunyai suami seorang saudagar kaya. Ya, orang-orang desa ini masih banyak yang memuja-mujakan uang, materi dan segala hal yang berbau kekuasaan. Bahkan ayahku sendiri, Sutan Mahmud yang dahulu sangat kuhormati, telah menukarku dengan uang dengan dalih untuk pelunasan hutang-hutangnya kepada suamiku. Tapi kutahu, semua itu hanyalah sebuah omongkosong dari orang tua yang serakah. Lebih parah, suamiku, Datuk Maringgih, seorang tua bangkah yang picik dan tamak yang rela melakukan apapun untuk keserakahannya. Datuk Maringgih, rupanya buruk, umurnya telah lanjut, rambutnya telah putih beruban. Adat dan kelakuannya kasar dan bengis, bangsanya rendah, pangkat dan kepandaianpun tak ada, selain dari pada kepandaian berdagang. Akan tetapi karena kekuasaan uangnya, segala hal bisa ia dapatkan. Bahkan diriku ini telah dibeli olehnya. Bukankah besar kekuasaan uang itu? Tentu, apakah yang lebih daripada uang? Dunia ini berputar mengelilingi uang. Dan aku membenci hal itu. Menjadi istri seorang Datuk Maringgih adalah sebuah kutukan bagiku, betapapun dia sangat kayaraya, tetap saja itu adalah sebuah penderitaan untuk hidup bersamanya. Terlebih, dia telah membuat mas Bahri, kekasih lama ku, menjadi menderita hingga sampai usia akhirnya.
•
Hari-hariku menjadi istri seorang Datuk Maringgih semakin membuatku gila. Setiap malam ku hanya dijadikan budak seks untuk melayani nafsu birahi si tua itu. Tak peduli saat datang bulanpun ia tetap memaksaku bahkan dengan penuh kekerasan sekalipun. “kau itu istriku, sudah seharusnya kau menuruti segala kemauanku” bentaknya pada malam itu. Cuihh “kau hanya seorang iblis. Kau itu seorang yang tak berguna. Yang kau tau hanya uang dan selangkangan!”. Tak henti-hentinya aku mengumpat tatkala dia menyentuh tubuhku.
Setiap hari yang kupikirkan hanya bagaimana cara memotong rantai penderitaan yang membelenggu dileherku ini. Setiap hari ku merasa sesak. Berkali-kali ku mencoba membunuh bedebah tua bangkah ini, tapi entah bagaimana tuhan selalu berpihak padanya. Tuhan selalu baik padanya, padahal disini aku yang telah tenggelam dalam sebuah penderitaan yang menyesakkan. Akal ku sudah tak waras. Malam itu, seperti biasa ia memaksaku untuk melayani nafsu birahinya. Tapi entah kali ini aku pun tak mau kalah. Telah kusiapkan belati itu dibawah ranjang. Ku tikam dia dengan bengisnya ketika ia bersiap membawa tubuhnya jatuh diatas tubuhku. Seketika, tubuh dan ranjang penuh dengan merah darah segar yang mengalir derasnya. Tubuhku ikut bergetar tapi hatiku terasa puas.
•
Januari 2001.
Hari ini adalah persidanganku. Entah apapun keputusan hakim, tentu aku takkan menyesalinya. Mereka yang menyaksikanku, berkali kali mengumpat, meludahiku. Mereka bilang aku anjing gila, psikopat, iblis. Akal warasku telah hilang sejak dulu, jadi untuk apa aku menggubris omongkosong sialan itu. Aku tidak menyesal meski sejarah nanti mengenangku sebagai Siti Nurbaya yang bengis, iblis meski berparas ayu. Satu hal yang pasti, penderitaan yang mas Bahri dan yang telah aku alami, telah ku bayarkan dengan tuntas. Biar cukup aku saja, seorang wanita gila yang mendapatkan lelaki macam Datuk Maringgih.
Pic source: instagram/psychowaves
Comments
Post a Comment