Oh kekasihku,
Bagaimana mungkin ini semua akan terlupakan
Sedangkan kau masih terpatri dalam hatiku
Begitu pula diriku, masih terpaut dalam hatimu jua yang murni itu
Meski skizofrenia telah merenggutmu dariku, Anastasyaku,
Kau tetap senja terindah dalam hidupku,
Jingga, sendu, dan mengharu..
(
2012.
Lelaki itu, duduk terpaku dilorong rumah sakit. Seluruh bagian tubuhnya berasa hancur untuk pertama kalinya. Pikirannya kalut. Memori-memori di otaknya seakan seperti berputar-putar dalam kepalanya. Dokter yang baru saja ditemuinya telah mendiagnosa Anastasya, kekasihnya, dengan diagnosis schizophrenia paranoid. Ia begitu terguncang mendengar diagnosa dokter itu. Anastasya, kekasihnya, istrinya, yang baru ia nikahi 3 bulan yang lalu, yang ia pacari dulu 4tahun yang lalu, bagaimana bisa skizofrenia merenggut Anastasya dari lelaki itu.. Merenggut semua ingatannya, merenggut kehidupannya yang indah itu, dan merenggut senyuman mungilnya yang syahdu. Ia begitu tak mengira bahwa segala kemarahan kekasihnya itu, tuduhan-tuduhannya kala itu adaalah pertanda. Bagaimana mungkin ia baru menyadari tentang perubahan sikap kekasihnya itu setelah 3 bulan terakhir sebelum dokter mendiagnosanya dengan schizophrenia atau yang orang-orang katakan dengan begitu jijiknya menyebut penyakit gila. Ah ini bukan saatnya menghiraukan apa yang orang bicarakan, pikirnya.
•
2009
Perempuan itu tertawa riang dibawah pohon rindang bersama seorang lelaki. Perempuan itu cantik dengan satu lesung pipit di pipi kanannya yang mungil. Mereka bercengkrama dengan penuh senyum indah yang mengembang di sudut bibirnya. Kala itu langit menunjukkan pesonanya, dengan jingga dan turut berkompromi dengan anginn yang membelai lembut disela-sela rambut hitam perempuan itu, Anastasya.
Lelaki disampingnya, Bara, menatap lekat-lekat mata wanita itu. Aku sangat beruntung mencinta dan memilikimu. Gumamnya dalam hati ketika mendengarkan perempuan itu bercerita.
“Kamu tau apa yang membuat senja itu indah?” Tanya nya pada kekasihnya. Dengan ringan Bara pun menggelengkan kepalanya. “Karna senja hanya datang Cuma sekejap. Senja tidak bertahan lama seperti pagi dan malam. Senja tidak akan sepanas ketika siang hari dan tidak sedingin pula ketika malam hari. Senja begitu sederhana. Dan itu yang membuat senja menjadi indah dan itu pula yang membuat kita begitu menghargainya, meskipun datang hanya untuk sekedar menyapa lalu hilang ditelan malam yang datang.” tuturnya dengan senyum hangat dari Anastasya. Bagiku kau yang paling indah Anastasya. Sekali lagi gumamnya dalam hati lelaki itu karna begitu terpesona oleh mata dan senyum kekasihnya.
”dan kamu tau? Aku kira senja itu seperti kebahagiaan dalam hidupku.” Kata Anastasya lagi. Dan Bara mencoba menerka-nerka apa maksudnya.
“ Iya senja itu ibarat kebahagiaan dalam hidupku. Kebahagiaan yang datang hanya sesaat. Tidak seperti kesedihan yang kualami yang datang berkepanjangan. Kebahagiaan dalam hidupku hanya datang sesaat. Dan slah satu kebahagiaan yang aku rasakan ialah sejak aku bersama mu. Dan mungkin suatu saat nanti, kebahagiaan itu juga sesaat.” Kata Anastasya sambil menepatkan kepalanya di pundak kekasihnya. Bara menatap kekasihnya dengan aneh.
“apa maksudnya kebahagiaan dengan diriku pun hanya sesaat, Anastasya?”. Anastasya hanya menjawab dengan menggelengkan kepala.
“ah enggak kok, aku hanya mengarang saja. Kamu tau kan kalau aku suka berimajinasi hehe” timpal Anastasya sekenanya. Bara hanya diam, begitu tak mengerti tapi dia mencoba untuk tak memikirkan jawaban Anastasya itu. Ia hanya mampu menatap kekasihnya itu dengan penuh kagum.
•
Sekelebat kenangan nya tentang Anastasya pun menguak dalam kepalanya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Home. Panggilan dari rumah. “halo assalamualaikum Den Bara.” Suara pembantu di seberang sana. Bara menjawabnya dengan sedikit lesu. “Den, Non tasya ngamuk tadi. Den Bara mending cepat pulang. Tadi Non berusaha bunuh diri tapi untung saya bisa mencegahnya. Den lebih baik cepet pulang”.
Hati Bara gemuruh. Ia bergegas kembali pulang kerumah. Ketika ia menuju rumah, pikirannya semakin kacau. Jangan lakukan itu Anastasya. Jangan sakiti dirimu sayang. Katanya dalam hatinya.
Setengah jam kemudian ia sudah berdiri didepan pintu kamarnya. Ia menerawang kekasihnya yang berdiri dekat jendela, melihat keluar dengan tatapan kosong. Bara melihat sekeliling kamarnya yang begitu berantakan. Mungkin akibat amukan dari Anastasya. Bara mendekati istrinya dengan perasan berkecamuk dalam dirinya. Ia belai rambut Anastasya dengan lembut. Aku masih tetap mencintaimu. Aku tetaplah kekasihmu, suamimu. Ucap Bara pada Anastasya sembari mengecup kepala istrinya. Perempuan itu masih menatap keluar dengan tatapan kosong.
Beberapa bulan berlalu, Lelaki itu masih setia untuk istrinya. Bara, cintanya masih murni, tak pernah sedikitpun ia merasa lelah untuk istrinya. Hanya dia, pembantunya dan juga orangtua Bara yang mengetahui tentang keadaan istrinya. Berkali-kali ibu Bara meminta agar Anastasya, cintanya, agar dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Karena setidaknya ada dokter yang akan selalu merawat Anastasya. Ibunya tak tega melihat anak lelakinya begitu begitu menderita hidup bersama wanita gila. Kadang kala suatu hari, ketika pembantunya izin pulang, ia menemukan Anastasya yang sedang duduk di depan pintu rumah. Tetapi bukan itu yang membuat Bara merasa sedih dan tercengang. Ia melihat istrinya itu duduk memegang pisau ditangannya, dan Anastasya telah melucuti semua pakaiannya sendiri. Ibunya selalu meminta Bara agar Anastasya dirawat di rumah sakit jiwa. Ibu menyuruhnya dengan dalih agar Anastasya bisa berangsur-angsur sembuh. Dengan berat hati, walau batinnya tersiksa, hatinya terkoyak karna harus membawa istri terkasihnya untuk menetap dalam RSJ. Setiap hari lelaki menjenguk istrinya, setiap senja ia mengajaknya berkeliling rumah sakit. Karena ia tau, meskipun kekasihnya tak dapat mengingatnya, ia masih yakin bahwa Anastasya masih mengingat senja dan masih pula menyukainya.
16.30. Ponsel Bara berdering. Telfon dari rumah sakit. Sontak hatinya terguncang. Apa yang terjadi. Gumamnya dalam hati. Suster dari rumah sakit diseberang sana berbicara dengan tergopoh-gopoh memberitahukan bahwa Anastasya menghilang dari Rumah Sakit. Nafas Bara menjadi semakin tidak teratur. Ia terengah-engah. Dimana kamu Anastasyaku?. Seketika pikirannya pun kalut. Beberapa menit kemudian ia sampai didepan Rumah Sakit. Ia mencari Anastasya di jalan-jalan dekat rumah sakit. Baraa begitu menyesal mengapa ia begitu tega memasukkan istrinya terkasih itu ke dalam Rumah sakit jiwa. Ia begitu membenci dirnya sendiri atas tindakan bodohnya. Maafkan aku sayang. Ucapnya dalam hati sembari terus mencari istrinya. Hingga ia melihat Anastasya berdiri mematung di tepi jalan raya. Lelaki itu berlari menuju Anastasya. Ia mendekap kekasihnya itu, akan tetapi Anastasya mengamuk dan berteriak. Bara mencoba membawa Anastasya akan tetapi Anastasya memberontak, meraung dan ia berlari ke tengah jalan raya. Dan dengan tiba-tiba mobil sedan melaju dengan kencang menghantam Anastasya hingga tubuhnya terpental jauh..
•
Untuk kedua kalinya ia merasa hancur. Ia merasa tak tersisa lagi. Tak adalagi yang mampu ia pertahankan. Anastasya, kekasihnya, istrinya, cintanya, Bara telah kehilangan semuanya. Ia berdiri di depan tubuh Anastasya yang penuh dengan darah. Bara seperti tak mampu lagi menghadapi dunia. Anastasya, perempuan cantik pengagum senja telah meninggalkan Bara untuk selamanya. Dan untuk selamanya pula cinta Bara yang semurni dan seelok senja akan tetap teruntuk Anastasya nya..
Kau wanitaku,
Selembut belaian angin sore,
Akan kurindukan senyum teduhmu itu,
Dan kau,
Akan selalu menjadi senja yang kutunggu
Ketika aku jenuh menanti hari tuaku tanpa dirimu..
Comments
Post a Comment